Sertifikasi Interpreter

Dalam sebuah persidangan kasus pidana yang melibatkan seorang Warga Negara Asing, terjadi kekisruhan dimana kuasa hukum terdakwa mempermasalahkan interpreter yang disediakan oleh pengadilan. Sang interpreter dianggap tidak kredibel karena belum tersertifikasi. Meskipun begitu Hakim ketua menolak keberatan pengacara tersebut dan persidangan tetap dilanjutkan. Sepintas lalu ada kesan bahwa kuasa hukum terdakwa hanya mengada-ada atau berusaha mengulur-ulur waktu. Yang penting si interpreter bisa cas cis cus bicara dalam bahasa asing. Tidak masalah apa ada sertifikasi atau tidak. Itulah anggapan masyarakat awam tentang profesi interpreter. Dalam kenyataannya, di Indonesia memang belum ada sertifikasi interpreter. Yang ada barulah sertifikasi penerjemah tulisan. Hal ini terjadi karena beberapa sebab. Pertama, interpreting tidak memiliki parameter jelas yang dapat dinilai dengan angka. Mengingat sifatnya yang spontan dan dinamis, terdapat kesulitan dalam menetapkan kriteria baku tentang kualitas sebuah sesi interpreting. Yang ada hanyalah kesan subyektif pendengar. Kedua, dibutuhkan biaya cukup besar untuk membangun dan menyelenggarakan sistem sertifikasi interpreter, baik court interpreter maupun corporate interpreter. Investasi uang yang dibutuhkan untuk mengikuti sesi pelatihan interpreting lebih besar daripada jumlah uang yang dikeluarkan untuk sertifikasi penerjemah tulisan. Meskipun demikian, sertifikasi interpreter tetaplah penting dan mendesak untuk diselenggarakan demi menelurkan interpreter yang benar-benar kredibel dan berkualitas unggul.

2 comments: